Harusnya, hari ini kita berbahagia. Ah, bukan kita, tapi
kamu. Maksudku, harusnya, hari ini aku bisa membuatmu bahagia, lebih bahagia
dari sebelumnya.
Kita saling mengenal di usiamu yang masih 25 tahun, aku masih
mengingatnya dengan baik, hari itu, dengan hati yang masih semalu seorang
pangantin baru, aku menyerahkan sebuah kado di hari ulang tahunmu. Sederhana memang,
hanya sebuah baju koko putih. Aku senang melihat seoarang lelaki dengan pakaian
seperti itu, itu sebabnya aku memberikan itu padamu.
Tentulah, dapat kau lihat keegoisanku hanya dari sebuah kado.
Aku memberikan yang aku suka untuk kau pakai, bukan yang kamu
suka. Tapi aku berterima-kasih, sebab keegoisan yang bertahun membersamai di
antara kita, kau mafhumkan dengan alasan usiaku yang memang masih ... ( aku
tidak tahu mengatakannya apa) –kukira kata kekanak-kanakan tepat untukku. Kau selalu
memaafkan dan memaafkan, telah cukup bertahun untukku melihat di kedalaman hatimu
yang amat sangat lapang itu, bahwa benarlah : kau seorang penyayang. Aku mengagumimu.
31 tahun.
Kau seorang lelaki dewasa sekarang. Sekali waktu, aku
mencandaimu dengan olokan lelaki berumur, dan kau selalu menjawab dengan senyum
lebar dan semangat, : ” dulu muda, sekarang masih muda”. Ah, sekali ini dengan sangat jujur ingin
kukatakan.... aku mencintaimu. Seluruhnya. Sedalamnya.
Semangat, kerja keras, tanggung jawab, dan kasih sayang...
bagaimana aku akan merasa cacat dari seorang pendamping hidup sepertimu. Aku
bahkan mengira, syurga-pun akan hampa tanpamu. Itulah mengapa, aku ingin kau
ada untukku, dunia akhirat.
Tapi, tahun ini, aku tidak memiliki apa-apa untuk kuberikan
padamu, selain sebuah kejujuran. Kenyataan paling jujur tentangku.
#
Aku ini, dalam hal mencintai tak ubahnya bani israil pada
Nabi Musa. Butuh namun munafik. Kau tahu bani israil itu, ia mengikuti Nabi
Musa dalam kesenangan, meminta ini dan itu sebagai bukti kenabian, lalu ketika
Nabi Musa akan menghadapi perkara besar, ia memilih untuk tinggal duduk di luar.
Tidak mau tahu.
Aku takut mengatakan perihal ini padamu, tapi ini aku. Sejujurnya.
Doakan aku tak tenggelam bersama kaum fir’aun.
#
Barisan kalimat kering dari goresan tintaku.
Kau selalu memuji itu, katamu aku hebat berkata-berkalimat. Kukira,
kini kaupun tahu sisi lain dari kata-kalimatku : ucapan serapah. Aku pandai
menyumpahi, mengutuk dengan kata paling durhaka yang pernah kau dengar.
Sederhana kalimat adalah : aku menulis kebajikan saat lidahku
menyumpah serapah.
Adakah yang lebih menakutkan dari memiliki diri seperti itu? Sekali
lagi, aku takut mengatakan ini. Tapi ini aku, sejujurnya.
Doakan aku tak merasakan api neraka dari kebajikan dan serapah
kata yang saling menghianati.
#
Kata seseorang, kejujuran itu adalah hal yang baik, tapi kado
ini pastilah tak lebih baik dari kenyataan buruk tentangku.
Kuharap, kau masih akan menerimanya. Lalu memaafkannya. Seperti
lalu, yang sudah-sudah.
*25 juli 2013
catatan hati di hari ulang tahunmu, lelaki terbaik dalam
duniaku. Dalam hatiku.
0 Comments