Manusia hidup dengan takdir sebagai makhluk sosial adalah sebuah hakikat. Setiap orang membawa takdir makhluk sosial dalam dirinya dengan bekal nalar dan perasaan yang Allah anugerahkan sama pada setiap diri. Nalar dan perasaan inilah yang menjadi batas sikap dalam membangun "hablumminannas"- hubungan sesama manusia.
Sifat-sifat terpuji berupa saling menghormati, saling menghargai, saling tolong menolong sesungguhnya bermura pada satu titik dasar dalam diri seseorang, yaitu perasaan. Bahwa setiap orang ingin diperlakukan dengan dasar rasa yang sama. Persis halnya ketika kita sedang bercermin, pantulan apa yang ingin kita lihat seharusnya adalah apa yang kita tampilkan pada cermin tersebut. Sikap apa yang ingin kita terima dari orang lain adalah buah dari sikap kita kepadanya. Maka menjaga perasaan seseorang-tidak merendahkannya- merupakan salah satu prinsip dasar dalam membangun sebuah hubungan.
Hal yang niscaya ada pada diri setiap orang adalah rasa ingin diistimewakan. Sesederhana apapun profesi, kedudukan, maupun strata sosialnya, setiap orang adalah istimewa. Kita bisa menemukan keistimewaan itu meskipun dari hal kecil yang ada padanya, lalu kemudian menjaga perasaan istimewa itu tetap ada. Jika kita mampu menjaga ini, maka hubungan baik berkepanjangan bukan hal yang rumit lagi.
Tentang menjaga perasaan istimewa ini, sebuah kisah menakjubkan datang dari Mu'awiyah ibn Abi Sufyan,Sahabat Nabi SAW yang amat terampil dalam hal kepemimpinan dan menjalin hubungan. Suatu ketika terjadi penyerobotan lahan 'Abdullah ibn Zubair di Hijjaz oleh budak dan pekerja Mu'awiyah. Tidak terima dengan perampasan itu, 'Abdullah ibn Zubair kemudian menulis surat untuk Muawiyah.
"Bismillahirrahmanirrahim. Dari 'Abdullah, putra dari sang hawari, penolong setia Rasulullah SAW, Azzubair Ibn Al-Awwam. Juga putra Dzatun Nithaqain, wanita yang bersabuk dua ketika membantu hijrah Sang Nabi, Asma binti Abu Bakar ; kepada Mu'awiayh ibn Abi Sufyan, anaknya Hindun, perempuan yang mencincang dan mengunyah jantung Hamzah, Paman Rasulullah. Ketahuilah! Tukang kebunmu telah memasuki kebunku. Demi Allah yang tidak ada sesembahan selain Dia, kalau engkau tidak segera melarang mereka, aku akan punya urusan denganmu!"
Di Damaskus, Muawiyah membaca surat itu sambil tersenyum pahit. Ditunjukkannya surat itu pada putranya, Yazid Ibn Mu'awiyah. "Bagaimana menurutmu, apakah kita perlu menjawabnya?"
Wajah Yazid memerah membaca surat tersebut kemudian berujar : "Menurutku, Ayah harus mengirimkan pasukan dengan kekuatan besar yang barisan terdepannya ada di Madinah dan ujung terakhirnya ada di di Damaskus. Mereka harus datang kembali dengan membawa kepala Ibnu Zubair!"
Yazid melemparkan surat itu ke lantai,tapi Mu'awiyah dengan anggun segera memungutnya kembali.
"Aku memiliki sesuatu yang lebih baik dari itu," kata Mu'awiyah sambil tersenyum. Diambilnya pena dan kertas, lalu dia mulai menulis jawaban untuk Abdullah ibn Zubair dengan Khath-nya yang indah.
"Dengan nama Allah, Yang Maha Pengasih dan kasihNya tiada memilih. Yang Maha Penyayang, dan rasa sayangNya tak terbilang. Dari hambaNya, Mu'awiyah ibn Abi Sufyan, kepada Abdullah ibn Zubair, putra penolong Rasulullah yang setia, dan putra Dzatun Nithaqain yang mulia."
"Assalamu'alaykum warahmatullaahi wa barakaatuh," kalimat pembuka tersebut ditulis Muawiayah denga cermat dan teliti. "Saudaraku," lanjutnya, "Sesungguhnya, jika ada bagian dari dunia ini yang menjadi milikku dan milikmu, lalu engkau meminta bagianku untukmu, pasti akan kuberikan semuanya padamu. Jika surat ini telah engkau terima, maka dengan demikian seluruh kebunku itu telah jadi milikmu. Demikian pula, semua tukang kebunku yang telah melanggar hakmu itu kuhadiahkan kepadamu sebagai tanda maaf dariku. Wassalalmu'alaykum warahmatullaahi wa barakaatuh."
Menerima surat itu, Abdullah ibn Zubair menitikkan air mata. Bergegas, disiapkannya kuda dan para pengiring perjalanan. Dia berangkat ke Damaskus untuk menemui Muawiyah. Begitu sampai di hadapan sang penguasa, Muawiyah segera membentangkan tangan dan berjalan tergopoh menyambut Ibnu Zubair. Mereka berpelukan. Ketika itu, Abdullah Ibnu Zubair mencium ubun-ubun Mu'awiyah lalu menatapnya dengan mata berkaca-kaca. "Semoga Allah menjaga akalmu!" ujarnya, "Sungguh Allah telah memilihmu di antara orang-orang Quraisy untuk menduduki jabatan kepemimpinan ini!" Kisah ini ditulis oleh Ustad Salim A. Fillah dalam bukunya berjudul : Dalam Dekapan Ukhuwah, hal. 443.
_________
Kisah tersebut begitu dalam mengajarkan pada kita arti dari menjaga perasaan istimewa padi diri orang lain serta dampak besarnya bagi keberlangsungan sebuah hubungan. Sebab krikil masalah sudah menjadi sunnatullah sekaligus dinamika dalam setiap kebersamaan, maka kita butuh diri yang pandai menata sikap dan hati untuk dapat menjaga hubungan tersebut tetap utuh.
Merasa diri lebih baik sesungguhnya adalah benalu dalam hubungan. Keterampilan menjaga perasaan istimewa seseorang selalu berbanding lurus dengan rasa hormat orang lain terhadap kita, sebagaimana merendahkan orang lain membuat kita juga nampak hina.
Jikapun kemudian persoalan yang timbul dalam kebersamaan tersebut kian rumit adanya, maka semoga kita masih memiliki kejernihan nurani untuk menyelesaikannya. Salam Ukhuwah.
****
Baca-baca, lalu menulis. 😊
2 Comments
As usual K ophy'...sweet!
ReplyDeleteterimakasih sudah hidup baikbaik saja K. menulis selaluki dii:)
This comment has been removed by the author.
ReplyDelete