SG : Pinterest |
Saya
kadang-kadang merasakan nyeri di bekas jahitan sesar kelahiran adik Azhimah.
Rasa nyeri itu hadir bersamaan rindu yang teramat sesak. Nyeri dan rindu itu
selalu memulangkan saya pada mimpi-mimpi yang hadir di malam-malam saya selama
menanti hari lahirnya.
Acondroplasia. Begitulah
dokter kandungan menyebut jenis kelainan genetic yang dilihatnya saat saya
melakukan periksaan USG di kehamilan 7 bulan. Katanya, “ini adalah bawaan
genetic”, saya menyanggah bahwa dalam gen keturunan saya dan suami tidak ada
genetic seperti itu. Saya juga menanyakan kemungkinan dari makanan atau hal
lainnya, tapi dokter menjawab, satu-satunya alasan adalah bawaan genetic.
Saya
pulang dengan hati yang tak ubahnya ranting patah. Saat itu, saya menjalani USG
tanpa didampingi suami, saya terus saja menangis dan mencoba menguatkan diri
saya untuk menceritakan hasil pemeriksaan ini pada suami. Malam itu,
sesampainya di rumah, suami langsung menanyakan tentang bayi dalam perut dan
saya menjawab tegar –awalnya-, tapi tak lama air mata saya tumpah. Ia mengambil
foto hasil USG dari tangan saya yang lemah dan mencium foto itu lembut, lalu
mengelus perut saya dan juga menciumnya. “apapun itu de, ini anak kita, kita
besarkan sama-sama.” Saya lega mendengar kalimat sederhana itu, tapi rasa sedih
tetap saja tidak berkurang.
Hari-hari
selanjutnya, saya menghabiskan lebih banyak waktu untuk berdoa, saya membaca
ayat-ayat ruqyah pada sebotol air minum dan meminum sambil mengusapkan air itu
ke perut saya. Saya tidak lagi berani USG, alih-alih rasa tawakkal saya semakin
kuat. Kadang-kadang, saat sendiri, saya duduk tenang dan berbicara pada bayi di
perut saya tentang bagaimana saya akan membesarkannya. saya berjanji untuk
membuatnya berarti, membuat hidupnya tidak kalah bahagia dengan kehidupan
orang-orang dengan kondisi normal, orang-orang mungkin akan melihatnya cacat
tapi saya mengatakan itu tidak mengapa jika di mata Allah SWt dan penduduk
langit dia adalah hamba yang Taqwa. Saya berbicara padanya dengan keyakinan
utuh bahwa dia menyimak.
Saya
mulai lebih menerima. Ketika saya memikirkan kemungkinan karir saya ke depan
–tepatnya impian-impian saya- dengan harus membesarkan anak yang kemungkinan
besar akan lahir cacat, saya kemudian mengatur ulang semua rencana hidup saya.
Saya perlahan mulai menyimpan impian-impian saya dalam kotak kosong di sudut
hati saya dan berjanji untuk tabah menguncinya dan tidak membukanya lagi.
Saya
kemudian mulai berpikir untuk menjadi “perempuan rumah” yang akan mengasuh bayi
kecil itu sepenuhnya. Saya menghibur diri saya, bahwa saya bisa punya lebih
banyak waktu untuk menulis novel, atau puisi, atau apa saja. Juga, lebih banyak
waktu untuk duduk menekuri senja dan mengingat hakikat duniawi dan kehidupan
haqiqi akhirat. Saya pasrah dalam hati yang perlahan lapang.
Lalu
di kehamilan Sembilan bulan, mimpi-mimpi itu datang. Saya berulang kali mimpi
akan melahirkan dan ternyata baju-baju dan perlengkapan bayi saya belum siap.
Dalam mimpi itu, saya memegangi perut saya yang buncit dan bergegas ke toko
perlengkapan bayi untuk membeli baju-baju mungil, tetapi kemudian saya
terbangun.
Awalnya,
saya berpikir itu mimpi yang biasa saja, meskipun pada akhirnya saya ke toko
perlengkapan bayi dan melengkapi semua kebutuhan itu. Tapi ketika mimpi itu
terulang lagi dan lagi, saya mulai curiga. Semacam firasat aneh, saya berpikir
akan ada yang tidak beres dalam proses persalinan nanti.
Saya
kembali memanjangkan sujud-sujud saya, doa-doa saya rapal siang malam.
Keputusan dokter untuk melakukan operasi sesar membuat saya merasa lebih dekat
dengan kematian, mungkin saja mimpi ketidak-siapan itu adalah untuk diri saya
agar lebih bersiap.
Pada
akhirnya, ketika bayi Azhimah meninggal sesaat setelah lahir, saya tahu
mimpi-mimpi itu untuk membuat saya memahami arti kata siap.
Ketika
saya siap hamil, saya tidak siap untuk mengandung bayi dengan status Acondroplasia, tapi ketika saya siap
dengan semua itu, Allah SWt malah mengambilnya dengan begitu cepat.
Apa
yang ingin saya tuliskan sesungguhnya adalah :bahwa siap tidak siap, takdir
selalu datang tepat pada garis yang tertulis di Lauh Mahfudz. Takdir tidak
pernah menunggu kesiapan kita, tapi menuntut penerimaan kita yang utuh padanya.
Bahkan ketika kita telah demikian siap menghadapi sesuatu itu, takdir malah
berbelok ke arah yang tidak terduga, lagi-lagi kesiapan penerimaan kita diuji.
Kehidupan
akan selalu seperti itu. Saya meyakinkan diri, bahwa kematian bayi Azhimah
adalah proses pendidikan paling hebat yang Allah karuniakan untuk saya dan
suami. Hari ini, ketika saya menuliskan ini dengan hati perih, satu pelajaran
tentang hidup telah tertancap dalam dan menjadi-akar-akar keyakinan. Esok,
seterjal apapun jalan hidup, satu-satunya yang harus saya siapkan adalah
kesiapan itu sendiri. Kesiapan untuk menerima kehendak Allah SWt dalam
prasangka terbaik tentang ke-Maha Pengasih-Nya pada hamba-hambaNya, Kesiapan
untuk menerima takdir dengan ikhtiar, dan kesiapan untuk berlapang dada pada
kenyataan.
Sebab
seperti saat persalinan, ketika masing-masing kita mendorong diri untuk keluar
dari rahim, saat itulah sesungguhnya kita telah siap untuk semua kemungkinan
takdir yang akan kita jalani.
Allahu Musta’an.
1 Comments
Saya patah, Kak.
ReplyDeleteKetabahan seperti apa yang dirimu punya?