Sudah pernah saya katakan, menjadi Ibu adalah mengumpul paradoks rasa dalam satu waktu. Meskipun awalnya membingungkan dan buat kita seringkali tersesat dalam rasa bersalah, kita akan terbiasa dengan itu.
Hari ini, si Sulung kakak Fathi berulang tahun. Ia beranjak menjadi pemuda aqil baligh, InsyaAllah. Namun, yang terjadi pada saya adalah pengalaman pertama membesarkan seorang pemuda. Tahu apa yang terjadi?
Meskipun saya berulang kali menelaah buku-buku parenting, seni mendidik anak usia baligh, mencerna teori-teori psikologi anak, tetap saja, berulang kali saya terhempas dalam rasa bersalah.
Saya jadi lebih sering mengomeli si kakak, dalam pikiran saya harusnya dia sudah dewasa, memahami baik dan buruk dengan utuh, tidak kekanak-kanakan karena slalu bertengkar dengan adik-adiknya, dia harus lebih banyak mengalah, dia harus lebih mengerti situasi dan kondisi... Yap! Pikiran saya sedangkal itu terhadapnya di usianya yang sekarang.
Padahal... Ini adalah moment di mana ia belajar kenyataan-kenyataan hidup. Ia layak melakukan kesalahan karena sudah tugas orang tua mengajari ia resiko dan tanggung jawab dari pilihannya.
Kakak Fathi juga berhak mengekspresikan dirinya. Lebih emosional dari sebelumnya, karena ia sedang melatih wilayah perasaannya, bukan hanya tentang sedih dan bahagia, tapi tentang mengapa ia merasakan itu.
Kakak Fathi juga sudah punya dunianya sendiri. Ia punya wilayah yang berhak ia tutup atau buka untuk siapa yang ia kehendaki. Jika ia lebih senang dengan teman-temannya, lebih hidup jika sedang bermain, berkumpul, bercanda dengan mereka, maka tugas kami sebagai orang tua adalah memberinya kenyamanan hati untuk tetap merangkulnya dalam ikatan.
Sungguh menjadi orangtua adalah takdir yang indah. Ketika kita dititipi amanah berupa makhluk hidup, yang memiliki akalnya dan hatinya sendiri.... Kita tidak berhak memperlakukannya sebagai benda milik pribadi. Ia lahir dari rahim kita ke dunianya sendiri. Kepada kehidupannya sendiri. Tugas kita hanya sebatas mengarahkan, mengenalkannya pada baik dan buruk, menguatkan pondasi akidah dan akar keimanannya, merangkulnya ketika ia merasa lemah, dan bukan malah mendikte langkah-langkah dan pergerakannya seperti mesin robot.
Anak-anak kita manusia seutuhnya. Lahir dengan akal, hati, dan jiwanya. Ketika ia tidak sependapat dengan kita, itu tidak berarti durhaka. Ketika jalan pikirannya bersebrangan dengan keputusan kita, itu bukan pembrontakan. Jika langkahnya bukan di jalan yang kita kehendaki, selama itu tidak di luar garis syariat Allah, maka izinkan ia menemukan jalannya sendiri.
Biiznillah, semoga kita menjadi orang tua yang tidak selalu merasa benar. Bersyukurlah, jika di malam hari seringkali kita disisipi rasa bersalah terhadap anak-anak kita, mungkin itu cara Allah berbisik pada kita untuk memohon petunjuk dalam proses mendidik mereka. Sebab, meski sel darah, kromosom, gen, dan air susu kita yang membentuk tubuhnya, namun hati mereka ada di tangan Allah. Dibolak-balik dengan kehendakNya, bukan kehendak kita.
👦👦👦👦👦
Catatan 12 Tahun Kakak Fathi.
Selamat mendewasa putraku. Kelak ketika engkau membaca ini, Ummi dan Abi meminta maaf untuk kesalahan yang tidak kami sadari selama membesarkanmu. 💕
0 Comments