Sudah lama tidak menulis ditemani kesunyian seperti ini. Saat manusia manusia yang ditakdir hadir dalam hidup telah lelap dalam tidur. Suami, anak-anak.
Belakangan ini, entah karena apa, saya mencurigai diri saya sendiri telah memalsukan banyak ketulusan. Rasanya, saya seperti semakin pandai berpura-pura dalam ketulusan.
Mengapa juga saya menulis seperti ini?
Tiba-tiba saja ingin. Semacam pengakuan untuk jujur tentang diri sendiri mungkin.
Saya mendapati diri saya, tidak hanya sekali -bahkan belakangan ini makin sering terjadi-, merasa terganggu dengan orang lain, bahkan ketika wajah saya tersenyum dan berusaha terlihat nyaman, dalam diri saya, saya ingin mereka enyah.
Suatu kali, saya memikirkan mengapa saya bisa duduk berlama lama mendengar curhatan orang lain di saat yang sama hati saya berteriak mengusirnya dan berhenti berceloteh hal yang mebuang-buang waktu. "Bukankah semua orang hidup dengan masalah? Mengapa membesar besarkannya?".
Beberapa kali bahkan, saya menampakkan kepedulian kepada kesedihan orang lain, padahal sejujurnya, saya benar-benar tidak merasakan apa-apa.
Dan tidak terbilang jumlahnya ketika saya membalas chat WA dengan berat hati dan seperti ingin berhenti mengisi paket data agar tidak ada lagi suara BIP yang merusak ketenangan.
Ini bukan tentang ingin sendiri saja. Sama sekali bukan itu. Ini tentang ketulusan saya yang abu-abu. Saya merasa mengerikan dengan sikap seperti itu. Ketika bahkan saya duduk lama mendengar curhatan, masang wajah peduli, atau sekedar membalas pesan dengan antusias, dalam diri saya tidak ada ketulusan yang berarti.
Mungkin ini hanya pengakuan awal saja.
Tetapi, beberapa paragraf kejujuran tentang diri ini ternyata membuat saya bisa sedikit tersenyum.
Beberapa malam nanti, mungkin saya harus menulis lagi untuk sekedar mengurai benang kusut kepribadian ini.
Banyak hal yang merubah saya. Tapi kemudian saya ragu, apakah itu perubahan yang baik, atau perubahan yang "hanya" tampak baik.
0 Comments