Satu-satunya hal yang membuat semua waktu terasa menguap adalah menyaksikan bayi mungil kita telah menjadi calon pemuda, dan fase berikutnya adalah menumbuh-suburkan fitrah keshalihan di dalam dirinya.
Tidak semua orang tua akan memilih sekolah berbasis boarding seperti pesantren sebagai labuhan fase pendidikan anak-anaknya. Di antara begitu banyak alasan, yang paling memberatkan hati orang tua adalah jarak. Rasa kepemilikan dalam diri meniscayakan adanya kedekatan. Sebagai seorang ibu, saya merasakan sesak yang aneh ketika melihat putra pertama saya mengemasi barang-barangnya sebelum berangkat ke pondok.
Rasanya, baru kemarin saya menggendong sambil begadang menidurkannya, mengganti popoknya, menyuapinya bubur, menuntunnya berjalan, dan besok ia akan meninggalkan kamarnya dengan membawa hampir seluruh isi lemari pakaiannya, menyisakan ruang kosong bukan hanya di rumah, tapi juga di hati kami.
Di mobil dalam perjalanan pulang setelah mengantarnya masuk pondok, saya dan suami terdiam. Kami menata hati masing-masing. Bagaimanapun, jarak ini menyisipkan sesak yang sulit diurai.
Jika demikian beratnya, mengapa tetap memilih lembaga pendidikan dengan konsep Islamic Boarding atau pesantren ?
InsyaAllah, ini ikhtiar kita menghadirkan lingkungan dengan atmosfer kesalehan bagi anak-anak kita. Jarak dengan anak menyimpan hikmah luar biasa dalam proses pendidikan karakternya. Sebagaimana Allah Ar-Rahman juga mendidik para Nabi-nya dengan jarak. Bukankah Nabi Musa dipisahkan dari ibunya? Juga Nabi Yusuf yang terpisah dari ayahnya. Nabi Ismail ditinggal ayahnya dan hidup terasing bersama Ibunya. Nabi Muhammad bahkan dibawa ke tempat Bani Sa’ad dan diasuh selama 5 tahun.
Pada akhirnya, setelah lama dan jauhnya jarak itu, Allah Ar-Rahim kumpulkan mereka dengan pertemuan yang dipenuhi pembelajaran.
Dari jarak Nabi Musa dan Ibunya kita belajar untuk tetap berprasangka baik dalam proses ketaatan kepada Allah Swt, bahwa tiada pernah Allah luput dari janji-Nya. Ketika sang Ibu melepas bayinya ke sungai semata karena ketaatan kepada Rabb-nya —dengan berjuta kemungkinan buruk yang akan menimpa bayi tersebut di sepanjang aliran sungai—, pada akhirnya Allah mengumpulkan mereka kembali dengan keimanan yang semakin kokoh terhadap janji dan pertolongan Rabbnya.
“Dan menjadi kosonglah hati ibu Musa. Sesungguhnya hampir saja ia menyatakan rahasia tentang Musa, seandainya tidak Kami teguhkan hati- nya, supaya ia termasuk orang-orang yang percaya (kepada janji Allah).” (Qs Al-Qashash [28]: 10)
Pun demikian dengan Nabi Yusuf, Jarak yang tercipta karena kedengkian saudara-saudaranya meninggalkan pembelajaran kepada kita tentang keteguhan hati, keridhaan pada takdir, dan sifat lapang dada sekaligus pemaaf yang terpahat indah. Kita tahu bahwa pada akhirnya setelah perjalanan panjang yang dimulai dari mimpi aneh, terbuang di sumur, diselamatkan untuk kemudian dijual sebagai budak, dijadikan pelayanan istana, difitnah dengan tuduhan perzinahan, dipenjara selama 5 hingga 7 tahun, Allah arRahim kemudian mengangkat derajat Nabi Yusuf, ia hadir sebagai pemimpin yang bijaksana pada kaumnya. Bahkan ketika ia kembali bertemu dengan saudara-saudara yang telah mengasingkannya, hal pertama yang diucapkan adalah kemaafan, menjadikan saudara-saudaranya bersujud dalam kesyukuran dan mengakhiri episode panjang perselisihan yang dihembuskan syaitan di dalam dada mereka. Lalu terwujudlah mimpi itu…
(Ingatlah), ketika Yusuf berkata kepada ayahnya: "Wahai ayahku, sesungguhnya aku bermimpi melihat sebelas bintang, matahari dan bulan; kulihat semuanya sujud kepadaku". (Q.S Yusuf ; 4)
Jarak yang dikisahkan kepada kita tentang Ketaatan Nabi Ibrahim yang meninggalkan anak dan istrinya di padang pasir tandus —yang hanya ada bukit bebatuan di sekelilingnya— juga merisalahkan pembelajaran yang luar biasa tentang jaminan Allah Swt sebagai sebaik-baik penjaga untuk makhluknya. Bahwa Allah al-Mulk akan membayar tunai keikhlasan kita dalam ketaatan kepadaNya. Bahwa balasan kebaikan dari ketaatan itu melampaui umur dan zaman. Bukankah kita menyaksikan air zam-zam sebagai bagian dari sejarah keteguhan mereka tidak habis meski dinikmati jutaan manusia setiap harinya? Tiada lain niat Nabi Ibrahim mengasingkan anak dan istrinya kecuali agar mereka dekat dengan Rabbnya.
Ya Tuhan, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan (yang demikian itu) agar mereka melaksanakan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan berilah mereka rezeki dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur. (Q.S Ibrahim; 37)
***
Dalam jarak ada pendidikan luar biasa bukan hanya untuk anak, tapi juga orangtua. Bagaimana memupuk prasangka baik dan doa di tengah kecemasan yang memenuhi rasa, mengokohkan karakter diri di lingkungan dan suasana yang asing, juga menjadikan Allah ar-Rahim sebagai satu-satunya Ilah tempat bersandar.
Seperti inilah kita menguatkan diri ketika tiba saatnya mengantar mereka, dalam pelukan hangat sebelum perpisahan, sebait bisikan penguatan akan melapangkan hati mereka, : “nak, jarak ini insyaAllah akan mendekatkan kita di akhirat”.
Kenangan Tahun Pertama Kakak fathi di Pondok, Abi lagi sibuk di daerah, Ummi yang bolak-balik menjenguk. |
0 Comments