foto dari umi ina, semoga selalu jadi ophy dengan pikiran positif dan hati yang lapang.

Beberapa hari ini, saya merasa ada perubahan emosional dalam diri saya.  Sesuatu yang saya sadari karena merasa mudah terpancing dengan situasi yang sebenarnya biasa-biasa saja, lebih tepatnya, lumrah terjadi. Bukan hal baru juga. Hanya saja, saya merasa mulai merespon dengan sikap dangkal. 

Di tempat kerja misalnya. Tentu saja akan ada banyak karakter dengan isi kepala berbeda dan tentu saja level kebijaksanaan dalam pengambilan keputusan yang juga pasti tidak akan selalu seperti yang saya harapkan. Sejujurnya, beberapa hal mengganggu di hati saya, semisal mengapa ada orang di posisi tertentu yang mengulang kesalahan yang sama dan tidak mengambil pelajaran untuk memperbaikinya padahal itu berdampak pada kinerja orang lain di posisi tertentu. 

Ada desakan kuat dalam diri saya untuk frontal menyampaikan keresahan saya dan rasa tidak nyaman dengan sikap “seseorang” itu, tapi kemudian saya menahannya. Menelannya sendiri. Lalu mengusap hati untuk mengusir perasaan tidak nyaman itu. 

Hingga saya berada di titik kesadaran, bahwa ; Saya Harus Belajar !

Iya, kejadian yang saya alami secara pribadi, perasaan yang menyisipi hati, dan pikiran buruk yang menghampiri, semuanya adalah pelajaran. Saya harus mengambil pelajaran dari kejadian yang tidak kebetulan ini. 

Saya mungkin saja bisa menuruti ego untuk bicara frontal saja, toh… beberapa orang disekitar saya juga menyampaikan rasa tidak nyamannya. Artinya, ini bukan masalah pribadi, ini masalah keputusan publik yang berdampak pada banyak rekan lain. Tapi, setelah dipikir-pikir…, Bismillah, ambil pelajarannya, dan pastikan diri saya tidak melakukan hal seperti itu kepada orang lain.

Saya kemudian teringat satu nasehat bijak, bahwa semua hal yang terjadi adalah kebaikan. Bertemu orang baik memberikan kenangan baik. Bertemu orang buruk, memberikan pelajaran yang baik. 

Ya, ini hanya masalah bagaimana kita meresponnya. Saya, dan kita secara umum, tidak akan bisa menghindari kejadian tidak menyenangkan kalau memang sudah tertulis itu akan terjadi. Meluapkan kekesalan, berdebat untuk memaksakan kebenaran versi kita, menjatuhkan harga diri orang lain, atau bahkan menyalakan bara api permusuhan… nyatanya, bukanlah opsi penyelesaian masalah yang bijak. Kehidupan kita terlalu berharga untuk dikotori noda perselisihan hanya karena gesekan kecil. Ayolah….  Lihat tahun berapa ini, dan sudah berapa umurmu? -saya menunjuk diri sendiri-

Hm, tapi iya… terkadang kita, -tepatnya saya-, tidak selalu bisa berpikir jernih di hantaman pertama kejadian. Harus banyak-banyak belajar untuk bersabar lagi…

Saya kembali teringat kalimat ini,

“Saat kau mengangkat tangan memohon kesabaran, Tuhan akan memberikan persoalan, yang dengan itu kesabaranmu dilatih.”

Sebenarnya, menulis ini hanya sebagai terapi diri saja. Alhamdulillah, menulis selalu membuka kejujuran diri saya dan kejernihan menganalisa masalah. Terkadang, persoalan itu berkelindan di pikiran dan terus membesar, lalu masuk ke perasaan dan menjadikan dada sesak… tapi setelah menuliskannya, hei! masyaAllah… masalahnya tidak sebesar itu! Orang lain tidak seburuk itu! Kejadiannya tidak serumit itu ! dan sebenarnya…. Itu biasa saja, kawan !!! 

Alhamdulillah, Masyaallah… ternyata menulis bisa semujarab ini menjernihkan pikiran. 

Seolah tiap kata itu berhamburan keluar dari layar dokumen kemudian menjelma seseorang yang tulusss sekali, ia duduk di hadapan saya, menatap dengan binar indah, dan tersenyum ramah sambil mengatakan;

“Ophy, sederhanakan saja. Ambil pelajaran, dan biarkan berlalu.”

___

Sehabis Isya, dan saya rindu menulis.

Kamar kesayanganku; 3 Juli 2024