Di halaman masjid sahabat abu ayyub al Anshary, Istanbul, Turki.


“Apakah tidak dipertimbangkan di Indonesia saja?”


Itu adalah kalimat yang berulang kali harus saya hadapi dari orang-orang sekitar yang niatnya mungkin “peduli” pada apa yang sedang saya ikhtiarkan, melanjutkan pendidikan ke Turki. 


Pertanyaan sederhana itu tentu saja mengandung banyak pertanyaan lainnya yang mencoba menggoyahkan saya; “bagaimana dengan anak-anak? tega meninggalkan mereka? Suami bagaimana, bisa bertahan LDR? Tanggung jawab dan amanah keluarga di hadapan Allah gimana? Ngapain ke Turki? Di Indonesia juga banyak yang berkualitas di bidang yang kamu ambil.”


Dan masih banyak ujaran yang menurut mereka “nasehat bijak” untuk saya yang mungkin tidak sadar diri bermimpi terlalu tinggi. Saya tertegun. Ternyata kerikil impian itu bukan hanya tergeletak di jalan yang kita pijak, melukai kaki yang melangkah, tapi kerikil itu sebagian besar dilemparkan dengan kata-kata. Berdarah mungkin tidak, tapi membekas lama.  


Saya menelannya saja.

Suatu malam ketika perasaan cemas menguasai saya, semua kata-kata yang diucapkan orang-orang seperti datang dengan kain hitam dan membekap perasaan dan pikiran saya, sesak, saya meragukan diri, mempertanyakan kembali apakah benar memiliki impian seperti itu, menyesali mengapa saya mencoba melakukannya, apakah saya bisa menjalaninya nanti?  benarkah bahwa saya tidak sadar diri ? – saya bertarung dengan diri saya sepanjang malam. Dan itu tidak selesai di malam itu, malam-malam berikutnya…aku bertarung kembali hingga terlelap. 


 “Tidak apa-apa dek, orang yang paling terdampak keputusan untuk lanjut pendidikan ini adalah saya sebagai suami, dan saya ridha. Jadi tidak ada urusan dengan mereka dan semua ucapannya.“

Yap. Tidak apa-apa.

Saya memikirkan kalimat ini dengan jernih.

Bahwa kalimat menyesakkan yang keluar dari mulut orang-orang adalah bagian tidak terpisahkan dari perjalanan impian kita. Memangnya, sejak kapan jalan impian itu licin mulus tak berongga? 


Maka sungguh, tidak apa-apa jika orang-orang tidak memahami apa yang kita perjuangkan, dan tidak ada kewajiban bagi kita untuk memahamkan mereka.


Tidak apa-apa jika mereka meragukan kita. Tidak ada kewajiban bagi kita untuk meyakinkan mereka. 


Tidak apa-apa mereka mencemooh usaha kita, Allah sedang mengajarkan kita memeluk diri sendiri sebelum mengharapkan pelukan dan dukungan orang lain. 


Tidak apa-apa jika mereka menjauhkan diri dari kita. 

Jalan impian itu memang sunyi. 

Saat kita membicarakannya, orang-orang meremehkan

Saat kita mengusahakannya, orang-orang menyebut kita tidak sadar diri.

Dan saat akhirnya kita menjalaninya, masih ada orang yang menunggu kita jatuh.

Sungguh sesunyi itu. 


Tapi, sekali lagi, tidak apa-apa.

Semuanya akan baik-baik saja.



Ditemani angin dingin pukul 6 sore.

Istanbul, 5 Oktober 2024